| Gambar 1.1 Banjir |
Banjir. Kata yang selalu hadir menyapa, seolah jadwal rutin tahunan yang tak boleh terlewat. Namun, mari kita jujur pada diri sendiri: siapa sebenarnya sutradara utama dari drama air bah ini?
Penyebabnya klise, tapi selalu sahih. Yang pertama, tentu saja, curah hujan ekstrem. Langit seolah sengaja menumpahkan segala bebannya di atas kepala kita. Tapi, bukankah air hanya mencari jalannya? Dan di sinilah peran kita mulai bersinar. Saluran air yang seharusnya menjadi jalan tol bagi air hujan, kini berubah fungsi menjadi tempat sampah raksasa. Botol plastik, kemasan mi instan, hingga kasur bekas—semuanya kompak bersemayam, membuat gorong-gorong tersumbat total. Air pun naik, sambil bergumam, "Maaf, jalanan sedang padat."
Selanjutnya, ada fenomena "sikat habis" lahan hijau. Pohon-pohon ditebang, hutan beralih rupa jadi vila, perumahan mewah, atau pusat perbelanjaan mentereng. Tanah yang tadinya berfungsi sebagai spons alami raksasa, kini dilapisi beton, diaspal mulus. Akibatnya? Air lari tunggang langai, bingung mencari resapan, dan akhirnya memilih mampir ke ruang tamu kita.
Sindiran kerasnya: Kita ini memang luar biasa! Sudah tahu sebabnya, sudah hafal solusinya, tapi tetap saja memilih cara yang paling nyaman: menyalahkan alam dan menunggu bantuan datang. Kita rajin membuang sampah sembarangan sambil berharap para petugas kebersihan punya mata elang untuk membersihkan semua jejak dosa kita. Begitu air surut, kita berjanji, "Tidak akan lagi!" sampai hujan berikutnya tiba. Sungguh sebuah peradaban yang konsisten dalam kemalasannya. Mari kita sambut banjir tahun depan dengan tepuk tangan meriah!
Sekian.